Jumat, 27 Juni 2014

STORY TELLING




KORIDOR GELAP

“Suatu malam yang gelap, Dian berjalan sendiri menyusuri koridor. Lilin yang dibawanya mulai habis.  Koridor akan sangat gelap jika tanpa lilin itu. Dian tetap berjalan pelan dengan menahan diri untuk tidak panik. Kesunyian koridor benar-benar membuat ia ingin lari tapi kakinya yang luka tidak memungkinkan dia melakukannya.”

Kalau saja ia mendengarkan kata-kata orang tuanya mungkin tidak akan jadi seperti ini. Orang tuanya sudah sering mengingatkan bahwa jangan terlalu memaksakan diri. Luka di kaki kirinya akibat jatuh dari motor itu tidak mengurungkan niat Dian untuk datang ke rapat organisasi yang diikutinya. Sebagai ketua kegiatan festival musik dikampus ia merasa perlu bertanggung jawab penuh apalagi acara diadakan tinggal dua minggu.

Waktu sudah hampir magrib, teman-teman satu organisasinya satu-persatu berpamitan pulang. Dian sebagai ketua selalu pulang paling akhir, menunggu semua teman-temannya selesai mengerjakan tugas mereka dan pulang. Setelah semua sudah pulang dian langsung membereskan barang-barangnya.

Sudah sampai di gerbang kampus ia teringat dengan proposal kegiatan yang tertinggal diruang rapat. Bergegas Dian masuk ke gedung kampus. Luka kakinya sangat menghambat Dian untuk cepat apalagi ruangan berada dilantai 4. Ketika memasuki gedung terdengar suara adzan magrib, Dian mulai gelisah ingin cepat pulang. Di kampus sudah tidak ada orang lagi kecuali satpam yang duduk di pos jaga dekat gerbang. Koridor benar-benar sunyi dan mulai gelap karena lampu-lampu sudah dimatikan oleh OB. Hampir tidak ada suara apa-apa membuat Dian merasa merinding. Tiba-tiba saja terdengar bunyi hapenya yang lowbat.

Diambilnya hape itu di dalam tas untuk mengecek. Ternyata baterai hapenya tinggal 2% yang berarti sebentar lagi akan mati. “okeh, sempurna”, kata Dian sambil medesah. Hape itu dimasukkannya lagi kedalam tas.

Beberapa menit kemudian Dian sampai didepan pintu ruangan. Dia mencari kunci di dalam tas, kunci ruang rapat yang memang selalu dia yang bawa. Tiba-tiba ada bunyi “Praaaakkk”, Dian langsung tersentak. Dia langsung melihat ke kanan dimana sumber bunyi itu. Suara itu dari jendela yang belum ditutup tepat diujung koridor. Dian mulai panik dia cepat-cepat masuk ke ruangan lalu mengambil proposal. Dukdukdukdukduk Jantungnya berdetak sangat kencang dan dia bejalan terburu-buru keluar ruangan.

“AAAAAaaaaaaaaaa”, teriak Dian.

Kakinya yang luka itu menabrak ujung meja dan terjatuh. Dian merintih kesakitan sambil memegang kakinya. Tampak perbannya mulai keluar sedikit darah. Dian mencoba untuk berdiri dengan memegang meja disampingnya. Sekarang berjalan pun sudah sangat sulit.

                Matikan lampu Jam menunjukkan hampir pukul 07.00 malam. Koridor tidak terlihat apa-apa, hanya gelap dan sunyi. Dian teringat ada lilin yang disimpan dilemari, sisa dari kegiatan makrab bulan lalu. Semua lilin dilemari tidak ada yang utuh. Lilin-lilin itu hanya tinggal setinggi kelingkingnya. Dian pikir itu cukup untuk sampai keluar.

                Pelan-pelan Dian berjalan dikoridor dengan menyeret kakinya yang luka. Hanya ada cahaya lilin itu dan jendela yang bergerak-gerak tertiup angin. Bahkan rasanya ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri. Dian mencoba menenangkan dirinya dengan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Lalu mencoba membayangkan hal-hal menyenangkan seperti acara musiknya nanti yang akan berlangsung meriah. Tapi pandangan matanya tidak bisa menipu, ruangan gelap itu membuat dia memikirkan hal-hal aneh. Pikirannya dan ketakutannya bercampur, kini dia merasa mendengar langkah kaki pelan dari kejahuan. Bulu kuduknya langsung naik, dian mengusap-usap leher belakangnya berharap tidak merinding lagi.

                Dengan menahan perih lukanya Dian mempercepat langkah kakinya menuruni tangga. Darah yang hanya terlihat sedikit pada perbannya kini melebar. Luka itu memang belum sembuh benar, apalagi luka itu sempat dijahit.

                Sudah sampai di tangga lantai dua dan lilin yang dipegangnya sudah hampir habis. Dia bergegas tanpa memperhatikan anak tangga dibawahnya. Dian hampir terjatuh karena kaki kanannya menapak pada ujung anak tangga itu. Dengan kaki kiri yang terluka dian menahan agar tidak jatuh lalu memegang pinggiran anak tangga. “AAAAAaaaaaa” Lukanya semakin menjadi-jadi, keringat mulai menetes dari kening Dian dan dia terus merintih.

                Dian mencoba untuk berjalan lagi menuruni tangga tapi kakinya sudah sangat sakit. Dia terduduk memegang lilin yang terus meleleh membuat tangannya panas. Lilin itu diletakkannya disamping diatas anak tangga yang didudukinya sambil menggeser dan melihat kakinya yang luka. Lalu ia memaksa untuk berdiri.
Lilin itu mati dan Dian berjalan pelan kelantai dasar. Suara yang didengarnya dilantai 4 tadi sekarang kembali terdengar. Matanya mulai memerah dan ia pun menangis tersedu. Menangis antara ketakutan dan merasa kesakitan, Dian berhenti berjalan dan memojok kedinding sambil terus menangis. Dia menyesal karena tidak mendengarkan kata-kata orang tuanya. Menyesal karena ceroboh meninggalkan barang penting yang harus dibawanya. Kini dia hanya berdiri dan menangis.
               Suara langkah kaki itu makin jelas terdengar. Dian menutup matanya dan menangis makin kencang. Sinar dari tangga diatasnya menyorot ke muka Dian. “Kyaaaaaaaaaa”, dian teriak histeris. Dia tidak bisa melihat dengan jelas karena cahaya itu hanya terlihat sesosok bayangan didinding yang mendekat.

               “Neeenggg, neng.. kenapa disini?”

             Dian berhenti menangis setelah melihat suara siapa itu. Ternyata itu satpam kampus yang dari luar melihat jendela lantai atas belum ditutup. Lalu masuk ke gedung untuk menutupnya ketika berjalan turun mendengar suara tangisan Dian.

             Dian menceritakan kenapa dia masih digedung ini dengan muka yang memerah akibat menangis. Pak satpam membantunya keluar dari gedung lalu menghubungi orang tua Dian agar dijemput dikampus. Ketika orangtuanya datang Dian menangis lagi karena merasa bersalah, ibunya menenangkan Dian dan ayahnya menggendong Dian ke mobil.


Anggota kelompok :
1. Ahmad safari sebagai pembaca teks
2. M.rizki sebagai pembaca teks
3. M.irfan sebagai pembaca teks
4. Ikmal maulana sebagai pembaca teks 
5. Irfan fahri sebagai pembaca teks 
6. Rila Putri.A. sebagai penulis dan pembaca teks
7. Sarah akhmanur sebagai pembaca teks