Artikel
VIVA.co.id - Ketua Setara
Institute, Hendardi, menolak keras penerapan hukuman mati di Indonesia. Dia
mengatakan, upaya hukuman mati yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menyalahi Undang-undang (UU) dan nilai kemanusiaan.
"Tren di dunia hukuman mati sudah dihapuskan.
Jika kita bicara solusi, hukuman mati itu bisa diganti dengan hukuman
seberat-beratnya tanpa pemberian remisi," kata Hendardi melalui pernyataan
tertulis yang diterima VIVA.co.id, Minggu, 8 Maret 2015.
Dia juga mengkritik hukuman mati terhadap warga negara asing, termasuk gembong narkoba kasus Bali Nine hanya ingin menutupi kelemahan Jokowi di bidang hukum salah satu contohnya konflik antara KPK vs Polri.
Dia juga mengkritik hukuman mati terhadap warga negara asing, termasuk gembong narkoba kasus Bali Nine hanya ingin menutupi kelemahan Jokowi di bidang hukum salah satu contohnya konflik antara KPK vs Polri.
"Saya menolak
hukuman mati itu karena itu hak hidup orang lain dan (hukuman mati) itu
bertentangan dengan HAM," ujar aktivis HAM ini.
Dia juga menyoroti bahwa penerapan hukuman mati ini bisa memberikan efek jera kepada pafa pelaku kejahatan narkoba. Menurutnya, alasan ini selalu didengung-dengungkan Presiden Jokowi untuk menjustifikasi pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkoba.
"Jokowi mendapatkan angka 40-50 orang meninggal akibat narkoba, ternyata berasal dari penelitian tujuh tahun lalu, yang dilakukan oleh pusat penelitian kesehatan Universitas Indonesia dan Badan Narkotika Nasional (BNN)," ujar Hendardi.
Dia menambahkan, bahwa penerapan hukuman mati tidak bisa menjadi indikator keberhasilan pemerintahan Jokowi.
Hendardi melanjutkan, dengan menolak semua grasi hukuman mati tadi, kelemahan Jokowi makin terlihat jelas. Ia juga menilai Jokowi tidak paham seluruh isi grasi yang diajukan para terpidana mati.
"Saya sangat yakin seluruh permohonan grasi tidak dibaca dipelajari Jokowi. Padahal masing-masing kasus punya karakter persoalan pertimbangan berbeda," ujar dia.
Dia juga menyoroti bahwa penerapan hukuman mati ini bisa memberikan efek jera kepada pafa pelaku kejahatan narkoba. Menurutnya, alasan ini selalu didengung-dengungkan Presiden Jokowi untuk menjustifikasi pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana narkoba.
"Jokowi mendapatkan angka 40-50 orang meninggal akibat narkoba, ternyata berasal dari penelitian tujuh tahun lalu, yang dilakukan oleh pusat penelitian kesehatan Universitas Indonesia dan Badan Narkotika Nasional (BNN)," ujar Hendardi.
Dia menambahkan, bahwa penerapan hukuman mati tidak bisa menjadi indikator keberhasilan pemerintahan Jokowi.
Hendardi melanjutkan, dengan menolak semua grasi hukuman mati tadi, kelemahan Jokowi makin terlihat jelas. Ia juga menilai Jokowi tidak paham seluruh isi grasi yang diajukan para terpidana mati.
"Saya sangat yakin seluruh permohonan grasi tidak dibaca dipelajari Jokowi. Padahal masing-masing kasus punya karakter persoalan pertimbangan berbeda," ujar dia.
Analisis
Masalah perbedaan persepsi harus
tidaknya dilakukan hukuman mati kepada 2 terpidana narkoba sebenarnya terjadi
karena tidak adanya kejelasan payung hukum yang mengatur dengan detail tentang
sanksi ataupun hukuman tentang kasus
tersebut. Ditambah lagi banyak oknum pemerintah dan juga dari aktifis HAM yang
mana mereka berpegang teguh akan pendapat mereka masing-masing dan tidak mau
saling disalahkan. Masalah ketegasan pemimpin, regulitas, dan hak asasi manusia
yang saling bergesekan satu sama lain juga menjadi penyebab terjadinya banyak
perselisihan diantara banyak oknum.
Cara yang tepat untuk mengatasi perbedaan persepsi yang melibatkan
banyak pihak sebaiknya diselesaikan dengan cara mempertemukan pihak-pihak yang
berselisih dengan mendengar pendapat satu sama lain, memperhatikan hukum yang
berlaku dikawasan regional dan juga internasional melalui satu keputusan yang
konkrit dengan tidak mengabaikan aspek-aspek HAM. Dengan menggunakan opsi
tersebut diharapkan akan membuat suatu keputusan yang dapat diterima oleh
berbagai pihak yang berselisih sehingga tidak menimbulkan konflik yang
berkepanjangan.
Memang untuk sekarang peraturan tentang kasus duo bali nine
tersebut masih simpang siur dan belum ada kejelasan yang pasti, namun Payung
hukum Internasional juga harus dipertimbangkan, dengan memperhatikan sistem
hukum yang ada indonesia sebagai acuan dasar tentunya. Sebab dalam kasus ini
tersangka yang terlibat adalah WNA asing, dinegara mereka juga terdapat hukum
dan peraturan tentang HAM, jika ada WNI terkena kasus yang sama, apakah yang
akan kita lakukan ? permohonan Grasi yang di ajukan Tersangka juga sebaiknya
harus di teliti dan di baca lebih dalam.
Kesimpulan
Hukum Internasional sangat memainkan peran dalam kasus ini.
Harus ada peraturan yang tegas tanpa merendahkan Hak asasi manusia. Jika terus
berasumsi mengenai keyakinan masing-masing pihak maka masalah tersebut tak akan
kunjung selesai. Diperlukan musyawarah dengan pihak yang berkonflik, Peraturan
yang jelas dan terperinci, serta ketegasan yang beralasan kuat. Apabila
terjadi Kasus yang serupa maka Gesekan dari berbagai oknum dapat teratasi.
sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/598826-aktivis-ham--hukuman-mati-menyalahi-undang-undang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar